Death instink from lunatic
Disclaimer : milda
Genre : horor,psikologi.
Rated : 13+
Warning :typo,shonen ai.
Dia
terlihat tidak jauh beda dengan remaja pada umumnya tetapi ada hal yang
membedakan ia dengan yang lainnya,meskipun tidak semua orang mengetahui kondisi
dirinya. Memiliki death instink bukan
harapan dirinya dan tidak seorang pun menginginkanny, hanya orang aneh saja
yang menginginkannya. Death instink
atau bisa disebut sebagai insting kematian selalu menghantui langkahnya didunia
ini,semua itu berawal dari kondisi yang ia lihat ketika semasa kanak-kanak.
Semua memori mengerikan itu meresap kedalam ingatannya.
Jeritan,tangisan,rintihan,erangan beradu dengan suara mesin-mesin siksaan yang
berderit, semua itu ia dengar dalam masa
kurungannya. Ia tidak meminta dilahirkan sebagi si miskin yang berakhir dengan
nasib sebagai budak dan karena suatu insiden ia terperosok kedalam penjara Asilum Lunatik Utica. Semua yang memasuki penjara itu
bisa dianggap sebagai orang gila karena mereka dianggap memiliki penyakit
mental yaitu lunatik atau bisa disebut gangguan karena bulan. Orang zaman ini
biasa menyebutnya sebagai orang yang diserang oleh bulan,padahal bukan seperti
itu kejadian yang menimpadirinya. Pembunuhan masal terjadi tepat dihadapan
batang hidungnya dan berlanjut dengan penyiksaan terhadap korban selamat
termasuk dirinya. Ia benar-benar merasa tertekan meski hanya mengingat sekilas
potongan memori mengerikan itu dan ini yang membentuknya memiliki insting
kematian.jeritan itu kembali terdengar ditelinganya,merintih memohon untuk diselamatkan.
Kucuran darah mengalir dari matanya yang telah rusak turun membasahi pipi yang
dulu selalu merona merah kala ia goda. Tangan itu masih terasa mencengkeram
lengannya dengan gemetar,bibir itu menalirkan cairan berwarna merah memanggil
namanya “dix... dix....” rintihnya. “ uwah....!!! lepaskan aku !! kau siapa ?! siapapun
! tolong aku !” teriaknya dengan terbangun dari tempat tidurnya. Nafasnya
tersengal-sengal,tangannya seakan menggenggam sesuatu. Ia menengok kearah
samping dan nampak samar ada seorang lelaki bertubuh kecil menjabar erat
genggaman tangannya “kau sudah bangun?” ucapnya halus dan melepaskan
cengkeraman erat tangannya “tidak...jangan pergi dulu” pintanya seraya
mengenggam erat tangan itu lagi “kau sudah besar,ayo cepat turun. Ayah dan ibu
sudah menunggu “ jawab lelaki ini berdiri dengan melepaskan tangan yang seperti
tentakel menempel erat padanya. genggaman itu justru semakin mengerat,gemetar
menyelubungi seluruh tubuh pemiliknya, permata itupun tak kuasa ditahannya.
“kumohon... jangan pergi dulu” pintanya lagi,sedetik kemudian dekapan erat
melingkari kepalanya membuat kehangatan disana. Kecupan halus melayang kepuncak
kepalanya terasa menenangkan seluruh emosi yang bercampur dalam
dirinya,takut,gelisah, cemas perlahan merayap keluar dari lubuk hatinya. “kalau
sudah tenang ayo turun. Dix adikku tersayang” ucap lelaki itu dengan mengusap
halus pipi tirus milik Dix lalu berjalan menuju pintu kamar Dix.
Meskipun
zaman telah berubah tapi kenangan itu masih melekat dalam pikirannya,ia sering
dianggap gila karena sering menyebutkan peristiwa-peristiwa masa lampau itu
tetapi ia tidak bisa membuang memorinya. Orang tuanya sudah merasa lelah untuk
mengatakan padanya itu merupakan peristiwa masa lampau yang tidak seharusnya
diungkit-ungkit tapi bagi Dix peristiwa itu seakan baru terjadi kemarin.
“Dix,lanjutkan makanmu jangan melamun” tegur suara parau yang sangat ia
kenal,ia melanjutkan makan malamnya dengan lambat. “kami sudah selesai dan akan
pergi mengikuti acara pembukaan hotel terbaru.”ucap sang ibu yang telah berhias
cantik “kami akan pulang pagi atau sore hari besok” sambung sang kepala
keluarga dengan memasuki mobil mewahnya “pastikan dirimu aman. Dan jangan
terlalu memanjakannya” pesan sang ibu kepada kakaknya. Dix semakin mempererat
cengkramannya kelengan baju sang kakak “tenanglah,aku akan terus bersamamu”
ucap sang kakak dengan membelai lembut pipinya “ibu tenang saja,kami akan
baik-baik saja” sahut sang kakak kepada ibundanya yang menatap miris “ibu
percaya padamu,Roya” sahut wanita paruh baya itu dari dalam mobil dikursi
barisan ketiga. Roya melambai dengan menebarkan senyum mengantar kedua orang
tuanya “ayo kita pergi juga” ajak sang kakak dengan menggenggam erat tangannya
dan mengajak ia kesuatu tempat. Ia memasuki ruangan itu lalu bertemu dengan
seorang wanita cantik nan ramah,baru pertama kali ia bertemu dengan orang ramah
selain kakaknya sendiri karena kebanyakan orang akan menganggapnya sakit mental
termasuk kedua orang tua mereka. “disini kau akan merasa lebih baik” ucap sang
kakak menghapuskan guratan wajah cemas adiknya. Ia perlahan berbicara dengan
wanita itu dan secara perlahan namun pasti ia merebahkan dirinya dengan nyaman
disofa itu, semuanya berjalan dengan lancar. Mereka kembali berjalan menuju
kerumah mewah mereka tetapi ditengah jalan ia melihat ada sepasang cahaya
terang mendekati kearah mereka CIITT !! BRUK ! DUAK! BRAK! dan semuanya berubah
menjadi berkunang-kunang dimata Dix. Ada sebuah tangan menggenggam lemah
lengahnya gemetar perlahan terasa disana,terlihat samar dimatanya ada cairan
merah yang sangat ia kenal mengalir dikepala orang yang sangat sayang
“Dix...Dix...” rintihnya,kembali Dix merasakan telah kehilangan untuk kesekian kalinya. “hiks hiks... aku
sudah merasakannya sejak kita akan pergi tadi,kak... kumohon maafkan aku yang
tidak memberitahukan tentang hal itu” ucap Dix panjang dengan isak tangis yang
terus terurai “aku harusnya memberitahukanmu.... aku minta maaf hiks”
sambungnya “ini bukan salahmu,insting itu bisa menyelamatkan dirimu kan? Aku
bersyukur karnanya” ucap Roya untuk terakhir kalinya. Untuk kedua kalinya ia
kehilangan orang yang sangat ia sayangi karena tidak mampu menguterakan apa
yang selalu ia rasakan mengenai insting kematian orang-orang disekitarnya
“mungkinkah ini ada hubungannya dengan memori yang selalu terbersit dalam kepalaku”
ucapnya menatap langit yang tertengger dengan anggun bulan yang bersinar dengan
terangnya. Permata itu kembali tergelincir sama seperti kejadian gadis itu yang
menggenggam tangannya dengan erat tetapi kali ini kakaknya yang merasakan
kepedihan itu.
EmoticonEmoticon