death instink from lunatic

22.01
hallo lagi kali ini mirru akan meng-post kan cerpen yang udah tergolong lama mirru buat tapi baru ada kesemapatan untuk membagikannya dengan kalian , so what ? mirru juga gak tau kenapa mirru jadi cerewet akhir-akhir ini tapi yang jelas hope you like it !



Death instink from lunatic
Disclaimer : milda
Genre : horor,psikologi.
Rated : 13+
Warning :typo,shonen ai.
            Dia terlihat tidak jauh beda dengan remaja pada umumnya tetapi ada hal yang membedakan ia dengan yang lainnya,meskipun tidak semua orang mengetahui kondisi dirinya. Memiliki death instink bukan harapan dirinya dan tidak seorang pun menginginkanny, hanya orang aneh saja yang menginginkannya. Death instink atau bisa disebut sebagai insting kematian selalu menghantui langkahnya didunia ini,semua itu berawal dari kondisi yang ia lihat ketika semasa kanak-kanak. Semua memori mengerikan itu meresap kedalam ingatannya. Jeritan,tangisan,rintihan,erangan beradu dengan suara mesin-mesin siksaan yang berderit, semua itu  ia dengar dalam masa kurungannya. Ia tidak meminta dilahirkan sebagi si miskin yang berakhir dengan nasib sebagai budak dan karena suatu insiden ia terperosok kedalam penjara Asilum Lunatik Utica. Semua yang memasuki penjara itu bisa dianggap sebagai orang gila karena mereka dianggap memiliki penyakit mental yaitu lunatik atau bisa disebut gangguan karena bulan. Orang zaman ini biasa menyebutnya sebagai orang yang diserang oleh bulan,padahal bukan seperti itu kejadian yang menimpadirinya. Pembunuhan masal terjadi tepat dihadapan batang hidungnya dan berlanjut dengan penyiksaan terhadap korban selamat termasuk dirinya. Ia benar-benar merasa tertekan meski hanya mengingat sekilas potongan memori mengerikan itu dan ini yang membentuknya memiliki insting kematian.jeritan itu kembali terdengar ditelinganya,merintih memohon untuk diselamatkan. Kucuran darah mengalir dari matanya yang telah rusak turun membasahi pipi yang dulu selalu merona merah kala ia goda. Tangan itu masih terasa mencengkeram lengannya dengan gemetar,bibir itu menalirkan cairan berwarna merah memanggil namanya “dix... dix....” rintihnya. “ uwah....!!! lepaskan aku !! kau siapa ?! siapapun ! tolong aku !” teriaknya dengan terbangun dari tempat tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal,tangannya seakan menggenggam sesuatu. Ia menengok kearah samping dan nampak samar ada seorang lelaki bertubuh kecil menjabar erat genggaman tangannya “kau sudah bangun?” ucapnya halus dan melepaskan cengkeraman erat tangannya “tidak...jangan pergi dulu” pintanya seraya mengenggam erat tangan itu lagi “kau sudah besar,ayo cepat turun. Ayah dan ibu sudah menunggu “ jawab lelaki ini berdiri dengan melepaskan tangan yang seperti tentakel menempel erat padanya. genggaman itu justru semakin mengerat,gemetar menyelubungi seluruh tubuh pemiliknya, permata itupun tak kuasa ditahannya. “kumohon... jangan pergi dulu” pintanya lagi,sedetik kemudian dekapan erat melingkari kepalanya membuat kehangatan disana. Kecupan halus melayang kepuncak kepalanya terasa menenangkan seluruh emosi yang bercampur dalam dirinya,takut,gelisah, cemas perlahan merayap keluar dari lubuk hatinya. “kalau sudah tenang ayo turun. Dix adikku tersayang” ucap lelaki itu dengan mengusap halus pipi tirus milik Dix lalu berjalan menuju pintu kamar Dix.
            Meskipun zaman telah berubah tapi kenangan itu masih melekat dalam pikirannya,ia sering dianggap gila karena sering menyebutkan peristiwa-peristiwa masa lampau itu tetapi ia tidak bisa membuang memorinya.  Orang tuanya sudah merasa lelah untuk mengatakan padanya itu merupakan peristiwa masa lampau yang tidak seharusnya diungkit-ungkit tapi bagi Dix peristiwa itu seakan baru terjadi kemarin. “Dix,lanjutkan makanmu jangan melamun” tegur suara parau yang sangat ia kenal,ia melanjutkan makan malamnya dengan lambat. “kami sudah selesai dan akan pergi mengikuti acara pembukaan hotel terbaru.”ucap sang ibu yang telah berhias cantik “kami akan pulang pagi atau sore hari besok” sambung sang kepala keluarga dengan memasuki mobil mewahnya “pastikan dirimu aman. Dan jangan terlalu memanjakannya” pesan sang ibu kepada kakaknya. Dix semakin mempererat cengkramannya kelengan baju sang kakak “tenanglah,aku akan terus bersamamu” ucap sang kakak dengan membelai lembut pipinya “ibu tenang saja,kami akan baik-baik saja” sahut sang kakak kepada ibundanya yang menatap miris “ibu percaya padamu,Roya” sahut wanita paruh baya itu dari dalam mobil dikursi barisan ketiga. Roya melambai dengan menebarkan senyum mengantar kedua orang tuanya “ayo kita pergi juga” ajak sang kakak dengan menggenggam erat tangannya dan mengajak ia kesuatu tempat. Ia memasuki ruangan itu lalu bertemu dengan seorang wanita cantik nan ramah,baru pertama kali ia bertemu dengan orang ramah selain kakaknya sendiri karena kebanyakan orang akan menganggapnya sakit mental termasuk kedua orang tua mereka. “disini kau akan merasa lebih baik” ucap sang kakak menghapuskan guratan wajah cemas adiknya. Ia perlahan berbicara dengan wanita itu dan secara perlahan namun pasti ia merebahkan dirinya dengan nyaman disofa itu, semuanya berjalan dengan lancar. Mereka kembali berjalan menuju kerumah mewah mereka tetapi ditengah jalan ia melihat ada sepasang cahaya terang mendekati kearah mereka CIITT !! BRUK ! DUAK! BRAK! dan semuanya berubah menjadi berkunang-kunang dimata Dix. Ada sebuah tangan menggenggam lemah lengahnya gemetar perlahan terasa disana,terlihat samar dimatanya ada cairan merah yang sangat ia kenal mengalir dikepala orang yang sangat sayang “Dix...Dix...” rintihnya,kembali Dix merasakan telah kehilangan  untuk kesekian kalinya. “hiks hiks... aku sudah merasakannya sejak kita akan pergi tadi,kak... kumohon maafkan aku yang tidak memberitahukan tentang hal itu” ucap Dix panjang dengan isak tangis yang terus terurai “aku harusnya memberitahukanmu.... aku minta maaf hiks” sambungnya “ini bukan salahmu,insting itu bisa menyelamatkan dirimu kan? Aku bersyukur karnanya” ucap Roya untuk terakhir kalinya. Untuk kedua kalinya ia kehilangan orang yang sangat ia sayangi karena tidak mampu menguterakan apa yang selalu ia rasakan mengenai insting kematian orang-orang disekitarnya “mungkinkah ini ada hubungannya dengan memori yang selalu terbersit dalam kepalaku” ucapnya menatap langit yang tertengger dengan anggun bulan yang bersinar dengan terangnya. Permata itu kembali tergelincir sama seperti kejadian gadis itu yang menggenggam tangannya dengan erat tetapi kali ini kakaknya yang merasakan kepedihan itu.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »